Sunday, April 26, 2009

Kunang-Kunang Menari

Kunang-kunang menari menembus kabut
berputar-putar menyeruak menyibak kelam
rintik satu-satu menetes
di dingin batu pualam suci

sinar kunang merambah marwah
bayang semu senyum hadir
menumpang kereta kala pukul 23.00
akankah kau jumpai stasiun mimpi?

Tatapan itu masih mengiang
menjadi tiket mimpiku
tajam, penuh makna dan rasa, hingga aku luruh
berharap bersua di stasiun mimpi

Peluit t'lah menjerit
memekik seirama kabut
di antara rel dan peron yang membisu
aku tersuruk

sementara kunang-kunang masih menari
menembus kabut menyibak kelam
kuharap menerangi ruang rindu
hingga ke stasiun mimpi

Saturday, April 25, 2009

Wanita Mulia dengan Ketegaran Iman

Antara 9 wanita yang patut dicontohi:
1) Siti Khadijah
- Beliau merupakan isteri Rasulullah s.a.w yg melahirkan anak2 Rasulullah, setia dan
menyokong Rasulullah walaupun ditentang hebat oleh org2 kafir dan musyrik,
menghantarkan makanan kpd Baginda ketika Baginda beribadat di Gua Hira’.
2) Siti Fatimah
- Anak Rasulullah yg tinggi budi pekertinya.Sangat kasih dan setia kpd suaminya Ali
karamallahu wajhah walaupun Ali miskin.Tidur berkongsikan 1 bantal dan kdg2
berbantalkan lengan Ali.Rasulullah pernah b’kata aku takkan maafkan kamu wahai Fatimah
sehinggalah Ali maafkan kamu.
3) Siti A’ishah
- Beliau isteri Rasulullah yg paling romantik.Sanggup berkongsi bekas makanan dan minuman
dgn Rasulullah.Di mana Nabi s.a.w minum di situ beliau akan minum menggunakan bekas
yg sama
4) Siti Hajar
- Isteri Nabi Ibrahim yg patuh kpd suami dan suruhan Allah.Sanggup ditinggalkan oleh Nabi
Ibrahim atas suruhan Allah demi kebaikan.Berjuang mencari air utk anaknya Nabi Ismail
(Pengorbanan seorg ibu mithali).
5) Siti Mariam
- Wanita suci yg mmg pandai menjaga kehormatan diri dan mempunyai maruah yg tinggi
sehingga rahimnya dipilih oleh Allah s.w.tutk mengandungkan Nabi Isa.
6) Siti Asiah
- Isteri Firaun yg tinggi imannya dan tidak gentar dgn ujian yg dihadapinya drpd Firaun
Laknatullah.
7) Siti Aminah
- Wanita mulia yg menjadi ibu kandung Rasullullah.Mendidik baginda menjadi insan mulia.
8.) Siti Muti’ah
- Isteri yg patut dicontohi dan dijanjikan Allah syurga untuknya kerana setianya kpd suami,
menjaga makan minum, menyediakan tongkat utk dipukul oleh suaminya sekiranya
layanannya tidak memuaskan hati,berhias dgn cantik utk tatapan suaminya sahaja.
9 ) Siti Zubaidah
- Wanita kaya dermawan yg menjadi isteri Khalifah Harun Al-Rashid.Sanggup
membelanjakan semua hartanya utk membina terusan utk kegunaan org ramai hanya niat
kerana Allah s.w.t.

Hadirmu Lukaiku


Akan kutinggalkan semua luka yang menganga

aku melangkah penuh perih
dengan doa tiada berujung
akankah menyembuhkan pedih
kembali sosok itu menyusup ke hidupku
mendobrak pintu hati yang t’lah sekian lama terkunci

Menggores luka baru
mataku tak dapat berhenti menatapnya
dengan kekaguman seperti dulu
walau menatapnya akan menghancurkan diriku
aku tak kuasa sekedar memalingkan wajah
walau perih begitu dahsyat kembali menyerang hatiku

Aku tak kuasa menutup pintu hati
dihadirkannya kembali rasa itu ke hidupku
ku tahu dengan menatap senyum dan matanya
tergores kembali luka yang pernah menganga

Friday, April 24, 2009

Sajak Luka dalam Tatapan Matamu

Tabir luka tersingkap
aku yang mengerang dalam gundah
tatapan mata itu makin menusuk
aku terpuruk dalam sajak-sajak tanpa makna

kata-kata tlah penjarakan aku dalam rasa
rasa yang tak pernah bisa ku eja
makna bergelayut, berkelebat
singkap asa hambar

sampai kapan
kata kan penjara frasa
dan frasa kukung klausa
hingga kalimat pun terpenjara rasa

aku yang tersudut dalam sajak-sajak rasa
hanya menjerit, mengerang
tiap bertemu retina indah di sudut matamu

Wednesday, April 22, 2009

Dimatamu Aku Terluka

Tertikam aku di altar sajak-sajak
berlembar-lembar isyarat melayang di gelagat mimpi
pucat mengabadi di ujung semangat
mencuat getir
kudengar, seorang berbisik nyinyir
aksara dilihatnya serupa permadani
tertawalah dirinya di kembara jagat
wajahnya menegang lalu mengerang
badai menjalar di jejaring keterasingan
tubuhku menciut
meretak sajak-sajak di denyut darah
kertas jadi zarah di nganga tong sampah


di matamu
murung hati serupa satir
empas tubuh di lembah gelisah
tak ubah bagai tragedi

matiku di lebar garis rasa yang
goreskan luka
lalu aku menjelma api

Tuesday, April 21, 2009

Cahaya di Sudut Fajar

Ya Allah...
Inilah hamba-Mu yang meratap mengharap percikan cinta-Mu
Engkau tahu betapa jelaga nista terus memburu,
dosa dosa melagukan soneta hawa nafsu
kelu lidahku untuk mengaku di hadapan-Mu
malu jiwaku untuk menatap-MU,

Ya Allah...
Dalam gundah penuh ragu aku menghampiri-Mu
Menatap diriku sendiri yang selalu berpaling
Sesekali dosa-dosa kusesali
Tetapi berjuta kali kuulangi
Betapa takdir harus menghadap-Mu
Sedang seluruh syaraf batinku hanyalah kisah kepalsuan
Sungguh tiada yang mendesakku,
kecuali sebuah pengampunan-Mu.

Batinku Menangis

Aku……..

Mungkin Cuma seonggok daging tergeletak di emper jalan

maka ketika beringas waktu menggigitku

aku Cuma bisa mengerang

Aku …….

Mungkin Cuma sesosok bangkai yang terbujur kaku di lorong lorong zaman

maka cacing cacing rakus

tak akan membiarkanku membusuk tanpa sempat tercicipi

Aku ……Mungkin hanya sebuah boneka yang tiada ber"hati"

maka begitu mudah tingkah kelam menggiringku ketempat sampah

Atau….Mungkinkah aku hanya sebuah bayang yang telah ditanggalkan dari jazadnya ?

hingga begitu mudahnya…

aku mengenyahkan nyanyian dzikir dzikirMu

Kembalikkan semua Iman yang dulu tlah tertata

Ya Rabbi terimalah keluhku ini

aku kan slalu berdzikir untukMu

Wednesday, April 15, 2009

Pada Gerimis Aku Bercermin

Kuhamparkan ruang dalam langit membiru
rasa hadir mengisi tiap jengkal waktu
kucoba rangkai jengkal-jengkal angkasa
agar bersinar terang memberi lukisan kehidupan
tiba-tiba gerimis satu-satu turun ke bumi
saat matahari terik di siang hari

Cuaca tak bersahabat menikahi langit
Hujan gerimis bak jarum meluncur menghujam bumi
sementara matahari bersinar terik
panas dan dingin menimbulkan sensasi
kala gundah menyelimuti hati

Pandangan mataku terus lurus
menerobos alam penuh makna
Pada gerimis satu-satu menghitung waktu
Dalam derai sunyi ini aku mengungkap diri
Pada sepi yang memberiku jawaban
Potongan hatinya telah selesai kupahat tiap sudut
Aku telah rapuh dan berderai dalam keping-keping

Malam ini aku tak pejamkan mata
Ada Kecamuk gundah yang terungkap lepas
bergejolak gundah turuti inginku yang jujur,
aku coba menata rasa ini
Ternyata gerimis bercampur terik matahari
tak hanya meninggalkan sensasi
kala perdebatan alam terjadi
Pada gerimis siang tadi aku bercermin

Friday, April 10, 2009

Mengenang Kematian, Menginsafi Diri dan Merencanakan Masa Depan

Tahun 2001 merupakan tahun ujian keluarga kami. Keluarga besar kami begitu kehilangan orang-orang yang merupakan pilar kebahagiaan kami. Beruntun dalam tahun tersebut berawal dari dua nenek Buyut, kemudian Kakek, Ayah Senin dini hari pukul 02.30 meninggal dunia. tiga bulan berikutnya Nenek juga menyusul. Mereka semua meninggalkan dunia fana ini dengan kedamaian islami; wajah ayah seakan orang yang tidur, dan Nenek begitu ‘cepat’ sehingga mengagetkan siapa saja yang dekat dengannya.
Kematian bisa datang mengejutkan. Padahal di banyak waktu kita menunggunya begitu tak ‘sabar’. Tentu tak ada yang mengingini kematian saat hidup begitu indah, nyaman, dan mudah; saat seseorang masih mencoba merasa-rasakan nikmat atau puncak kehidupan. Tapi tentu ada banyak orang yang mengingini hidup segera berakhir, saat diri terhimpit begitu rupa. Ditekan kiri dan kanan, dan tak ada ruang untuk bergerak sama sekali; sementara ia memiliki rasa malu sedemikian rupa yang ditanamkan masyarakat padanya semenjak kecil. Saat seseorang benar-benar merasa kecil dan terus dikecilkan.
Namun ada kematian yang begitu damai. Seperti kukenangkan pada ayahku.
Ayahku lahir dari keluarga yang tak bisa dikatakan miskin. Tapi ayahku, seperti katanya pada anak-anaknya, memulai usahanya dari nol, dari dirinya sendiri tanpa bersandar kepada ayahnya—kakekku. Kebetulan ayah seorang guru aktivis kepanduan (pramuka) dan ayah terakhir menjabat sebagai kepala sekolah sebelum dipanggil yang Kuasa. Inilah yang menguatkannya, yang membuatnya begitu tegar menghadapi berbagai cobaan. Ia mempersiapkan semuanya secara bertahap, dalam irama yang diatur sedemikian jernih oleh ‘Yang Mahakuat’. Dan kami, anak-anaknya, kemudian benar-benar diwarisinya ilmu agama, ilmu dunia dan kedisplinan.
Sakit ayahku mengejutkan kami, dengan sakit yang begitu hebat. Ia terserang stroke, dan membuat kami berasumsi sedemikian rupa. Kami—aku lebih tepatnya—mengasumsikan banyak hal, karena banyaknya anaknya dan peninggalannya, sehingga menimbulkan kecemasan-kecemasan dan tekanan mental dengan atmosfir ketakutan. Tapi ternyata, di akhir hidupnya ia meninggalkan kedamaian. Kedamaian yang tampak di wajahnya yang terakhir, kedamaian di hatiku yang ditinggalkannya. Aku merasa begitu tenang saat memandang wajah terakhirnya, seakan hapus semua kecemasan yang tumbuh di hatiku seiring waktu yang berlalu bersama saudaraku yang banyak. Inilah potensi kebaikan, menenangkan. Ayah meninggalkan kami setelah 6 hari di rumah sakit.
Begitu juga dengan nenekku. Ia tak meninggalkan apa-apa, ia tak memiliki apa-apa untuk ditinggalkan, tapi ia ‘pulang’ begitu tenang (meski aku sempat bingung memandang akhir kehidupan begitu dekat denganku.) Sore saat aku mengajar, tiba-tiba hpku berdering dan Istriku bilang nenek sakit dan berpamitan serta mohon maaf kepada semua warga desa. aku kaget sebuah firasat yang bisa aku tebak. Yang Aneh kenapa tiba-tiba, padahal paginya nenek masih menggendong cicitnya (anakku). Setelah sholat maghrib - Isya pun nenek tunaikan, Semua keluarga di suruh tidur dan meninggalkannya. Tanpa kami duga Allah berkehendak lain, nenek pergi dengan ketenangan tanpa kami saksikan sakaratul mautnya. Kami pun tak sempat mendampingi nenek dengan alunan surat Yassin. Alhamdulillah Ayah dan nenek meninggalkan dunia fana ini sudah ziarah ke Mekkah al Mukarammah. Jadi lengkap sudah rukun Islam yang dijananinya.
Apa yang kita inginkan sebenarnya dari kehidupan ini. Ia begitu singkat jika dibandingkan dengan daur hidup yang abadi. Semuanya datang dan kemudian pergi. ‘Urip mung mampir ngombe,’ kata orang Jawa. Apa yang kemudian kita rencanakan dan telah persiapkan untuk masa sesudah hidup kita, untuk orang-orang yang akan mengenangkan kita. Jika memikirkan ini seringkali aku sedih, ternyata hidup begitu sia-sia, sekaligus tak sia-sia jika memandang ada hidup sesudah hidup kita. Hidup anak-anak kita, hidup orang-orang dekat kita sesudah hidup kita berakhir. Dan apakah kedekatan itu, yang membuat seseorang mengenangkan orang lain sesudahnya? Mungkin ialah kebaikan—apa-apa yang kita usahakan baik bagi orang lain. Tanpa pamrih.
Mengenang sebuah kematian mestinya membuat kita menginsafi diri, menyadari apa-apa yang telah kita miliki, usahakan, dan apa yang masih tertinggal—kurang. Menginsafi diri membuat kita memandang ke cakrawala: apa yang tersisa untuk kita di depan sana, apa yang akan kita raih di masa depan, dan bagaimana merencanakannya. Merencanakan masa depan membuat kita berusaha mempersiapkan segalanya, sedikit demi sedikit, untuk kita asumsikan kemudian sebagai kebaikan yang akan kita tinggalkan untuk orang-orang yang akan mengenang kita sesudah kita. Setidaknya begitulah pelajaran yang ditinggalkan ayah dan nenekku.

Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’aafihi, wa’fu ‘anhu.

kugubah seperlunya coretan Kang Hajri untuk
Mengenang Nenek, Ayah dan Nenek Buyut
"Ridlo Allah dan safaat Rosulullah
semoga selalu menerangi Jalanmu"

Thursday, April 9, 2009

Akankah Purnama Kembali Esok

Detik, menit purnama membentang
memori menggelitik perlahan membuka pintu kenangan
malu-malu membisikkan kerinduan
terang purnama menyilaukan cermin kesadaran
menggantung di langit kepiluan

aku disini hanya mampu memandang purnama
aku disini hanya bisa mengenang purnama
aku disini hanya duduk meniti dan merajut asa

berkaca-kaca tanpa bisa aku cegah
kilauan kornea tlah menyempit dalam duka
esok purnama kan bersenggama balutan mentari
walau sesaat telah ciptakan kata
kata membait meniti rindu

akankah purnama kembali esok
ataukah purnama hanya di pangkuanmu
bersama sang Harjuna

Wednesday, April 8, 2009

Ijinkan Aku Tetap Tulis Bait-Bait Untukmu

Terbumbung hati saat kau hadir
walau tanpa secangkir teh yang biasa kau nikmati
dengan gayamu dalam satu meja
yang kusiapkan di atas awan
bertatap mata tanpa kata
awan putih mengarak menjelajah angkasa

Betapa gambaran itu membuahi jiwa gundah merana
bagaikan slide-slide berputar di depan mata
walau hanya hitam dan putih warnanya
tak berharap untuk menjadi pelangi
tak berharap tuk menjadi nyata
mungkin cukup dalam angan saja
karena ada panah menancap di pusara hatimu
bukan dari busur yang bersemayam di hatiku

Ijinkan kutetap bisa eja dan rangkai kata di petak hatimu
berikan kursi agar aku bisa duduk
dan menuliskan bait-bait rasa
walau tak menyebarkan wangi
tapi kuharap bisa menghias sudut hatimu

Aku tahu angin pesisir tak mungkin
menjalankan biduk
karena angin gununglah
biduk kan tetap berlayar

biarlah bait-bait ini kan terangkai bisu
melilit asa bersama angin pesisir
sedang angin gunung mendekap hati
tertancap panah busur gandewa sang dewa

Sunday, April 5, 2009

Purnama Pucat di Atas Kuburan

Tengah malam berbalut mendung
purnama tiada sempurna
pucat mengambang di atas ombak
bergelayut manja pada langit

ketika keresahan terus menyapa dari dasar lorong jembatan jiwa
malam saat engkau selalu ada mengusap peluh keruh seluruh
menemani di setiap sepi dan sunyi yang menahan mimpiku
hampir setiap malam yang tuli dan dungu ini
diam-diam mengintip dari balik bilik tirai rasa yang telah kusam
hadirmu tak kusangka membuka pintu hati

Singgah tahta dalam altar tertinggi jiwa
pijarkan satu cahaya di setiap sudut ruang kosong
menerangi temaram senyap sepiku
mungkin aku telah tertawan rasa
ataukah memang kamu adalah keindahan yang kurindukan selama ini
atau kamu adalah kerinduan itu sendiri yang memberi kedamaian

Yang aku rasa, kamulah yang sekarang mengisi kosongnya hati
kamulah yang sekarang menjadi peri di hati
pernah aku tanyakan pada embun berkabut di pucuk-pucuk ilalang puncak Ungaran
berpijak kaki di bibir ngarai yang tertelan kabut putih
telah kutinggal pesan pula pada edelweis untukmu….
tentang keabadian cinta

Juga kugoreskan tanah berkapur merah pada bebatuan diantara rengkuh ilalang
ku tulis dengan jelas “engkau telah membuatku merasa kembali utuh”
seperti senja yang tak ingin berpisah meninggalkan langit bercakrawala
begitupun aku yang takkan bisa membiarkan kamu tanpa peduli
sebagaimana senandung fajar yang selalu ada untuk embun pagi
begitu pun aku yang ingin selalu ada untuk kamu

Walau aku tak cukup sempurna untuk kamu miliki
bahkan takkan kamu miliki
karena aku hanyalah serpih-serpih kehidupan yang ingin aku maknai
walau aku tak cukup indah untuk menghiasi hatimu
bahkan bertahta dalam jiwamu sekalipun
karena aku hanyalah dedaunan kering berguguran terhempas waktu

namun…..
aku akan mencoba untuk selalu peduli
aku akan mencoba mengerti dan memahami
aku akan mencoba untuk selalu menyayangi

seperti angin pesisir menghembus
menyapa pegunungan saat biduk tlah mendengkur diantara
tali yang membelit tiang tanpa suara

purnama pun menepi
mengambang di atas kuburan

Friday, April 3, 2009

Di Sepertiga Malam


Ingin ku rengkuh keutamaan di setiap malam
Namun, nafsu kembali berhasil meniduriku
Kelopak mata pun kian mengering dibumi hati yang kian kerontang
Sementara aku hanya bisa berharap
“semoga malam berikutnya tidak seangkuh dan seganas malam ini”
Iblis terbahak melihat kekalahanku
Malaikat menangis melihat kemalanganku
Kembali ku tunaikan sholat isya’…
Dengan harapan, sepertiga malam terahir nanti
kedua tanganku mampu membasuhkan air wudlu diwajah dosaku.
Namun lagi-lagi aku gagal meraihnyaTak serokaat pun mampu ku dirikan
Tak sekalimah pun mampu ku lafadlkan
“apa mungkin karena seringnya iblis berhasil mengencingi telingaku,
sehingga kedua indra ini tak pernah lagi
mendengar sayup-sayup alam yang tak pernah berhenti memuja-Mu?”.
Aku kalah dengan stomata yang tak pernah berhenti bertasbih
Aku kalah dengan bebatuan yang tak pernah henti berdzikir
Aku kalah dengan air yang selalu menggemakan alunan dzikir

Beberapa bulan kemudian aku
dihadapkan pada satu episode hidup yang belum pernah ku perankan sebelumnya
Bermacam cobaan berbaris rapi rapi bertamu mengunjungiku
Hingga pada suatu malam…
“berbahagialah.. Tuhanmu telah mengabulkan doamu”
Hembusan angin tafakkur masuk mengantarkan bisikan itu kedalam hati
Aliran darah mendidih Irama jantung berdetak
bak halilintar yang mencambuk Iblis karena ingin mencuri rahasia langit
Kelopak mata mulai tergenagi luh
Bibir bergetar diiringi suara gemelethuk gigi beradu
Hingga ahirnya malam itu air mata mengguyur pipi
“semoga air mata ini sebagian dari air mata yang akan dipercikkan malaikat Jibril
dihari kiamat nanti ketika gumpalan bola api akan melahap Umat Muhammad”

Ku peluk kesedihan dengan Tahmid
Sedangkan kegelisahan ku belai dengan Tashbih
Namun kahawatiran kembali menamparku
“apakah malam ini mampu engkau pertahankan?
Seperti malam-malam yang akan engkau lewati sembari menghabiskan sisa waktumu?”
Akupun tersentak…!Hingga tetesan luh kembali bercumbu dengan kedua pipiku
Sedang dibawah hamparan sajadah, Iblis dengan sesumbar sumpah serapahnya berteriak
“lihat saja nanti, apakah besok malam kamu masih bisa seperti ini lagi?!”
Hingga ahirnya lari terbibirit-birit mendengar Ta’awudz yang ku ucapkan.



Coretan hati sohibku "Sudjana"

Moga jadi renungan kita bersama

Di Persimpangan Putih

Deru kereta perlahan menjauh
Terus dan semakin purba lajunya
Pintu demi pintu tertutup
aku hanya terpaku, tergugu menatapnya
semakin membelah pekat fajar

Hingga sesaat sebelum jarum berdentang 3x,
aku kukuh meneruskan hingga stasiun akhir,
menggapai cintaku.
Namun pada dentang ketiga,
sebuah pesan melabuh di mataku, agar aku tetap tinggal
Pesan dari sang cinta, mengharap kehadiranku
mendukungnya di lorong lorong putih beraroma obat

Kemanusiaanku yang ternyata masih ada,
mengusik dan mendesakku untuk tinggal,
melupakan stasiun terakhir
cintaku pun terdiam

aku menunggu untuk menemui
aku pun akhirnya, mengharap keputusan
yang akhirnya hanya membisu di bangsal putih
ah…inilah persimpangan kosong yang kupilih ternyata pada akhirnya
aku berharap ia mengerti dan memahami

ya Rabbi
jika memang persimpangan ini harus aku lalui,
berilah aku kesabaran dan keikhlasan
agar aku menerima setiap rintik kenyataan dan pernyataan yang aku terima
Beri aku kemampuan untuk menerima
cintaku memang seharusnya luka

ya Rabbi bantu aku jaga cintaku yang berdiri di sisi persimpangan
Jaga hatinya dari setiap luka yang kugoreskan
Keringkan setiap memar dan sayatan yang mengucur merah
Tolong balutlah setiap inci kesakitannya
Kokohkan ia di saat dukunganku tak ada di peluknya

ya Rabbi bantu aku menjaganya
Berikanlah ia kebahagiaan yang tak mampu kucipta
Gantilah lukanya dengan balutan cinta

Wednesday, April 1, 2009

Goresan Hati di Awal April


Ketika ku dendangkan lagu tentang bintang
bagai titik terang diujung malam
Derai lari waktu menderu mendentam
Mengingatkan sebuah kisah indah gemilang menerang

Kukirimkan rindu menumpang angin pesisir
Bersurat cinta dengan nada indah
Dalam tatap mata yang sembab
Berlari dan kehilangan sebuah harap

Awal pagi itu adalah terakhir kutatap
Sebuah mata indah yang begitu berharap
Semua kan hilang bagai kenanganan
pada bahtera sebuah kehilangan

Biar kukayuh sampan yang takkan berlabuh
Mengikuti riak sungai yang membiru
Sekulum senyum remuk dari hati yang syahdu
Merelekan semua menjadi sebuah kisah bisu