Wednesday, January 28, 2009

Stasiun Hantu

"Makanya, lihat jalan! ada bendulan kok di tabrak! " teriak mak Tum

"Itu bukan bendulan Makne..., itu jeglongan!" balas Lek man sambil terus mengayuh becaknya.

Pertengkaran tak pernah lepas dari mereka tiap kali menuju stasiun. Suami istri yang begitu setia menjadi penghuni stasiun tiap kali sore menjelang.
Lek Man seorang pengayuh becak yang selalu mengantar penumpang setiba mereka di stasiun kota itu. Sementara Mak Tum penjual gorengan dan kopi selalu setia melayani penumpang yang haus setelah perjalanan. Derit roda kereta dan peluit petugas selalu nyaring tak lagi memekakkan telinga mereka. Kelelawar yang lalu lalang bermain dengan ngengat dan nyamuk menjadi pemandangan tersendiri selain bau kas kotoran kampret .

Rinai sore itu tak seperti biasanya, tipis diselingi kabut menambah malam kian kelam, lampu di sudut stasiun tak mampu melawan malam, pecahan-pecahan ubin berserakan diantara sampah daun dan plastik. Sesekali terdengar riuh celoteh cabul dan teriakan segerombolan anak jalanan yang "mengontrak"gardu di sisi barat stasiun.

"Aku cari penumpang dulu Makne!"

"Iya-iya..., eeee itu tremosnya jangan dibawa.., repot nanti kalau ada yang minta kopi, turunkan dulu Pakne!"

"Lha kamu itu bagaimana sih...nih ambil!"

"Ati-ati Pakne, awas kalau lirak-lirik kembang-kembang pariyem.."

"Iya-iya!"Lek man pun berlalu seiring angin yang menghembus perlahan.

Mak Tum sibuk menata piring, gelas, tremos dan ugorampe dagangannya. Sesekali ia lantunkan tembang jawa kesukaannya. tembang jawa yang selalu ia dengar kala akan terlelap dalam kelonan simbok. Masih terngiang jelas dalam benaknya.

"Jadi perempuan itu yang sumarah, jangan pernah nguciwani liyan, opo meneh bojomu, setiti, ngati-ngati lan waspodo iku kudu mok lakoni suk nek omah-omah yo nduk!"
Wejangan simbok yang selalu ia jalani, 20 tahun bukan waktu yang pendek untuk menemani Lekman, migran dari desa untuk mengharapkan sesuatu yang lebih dari yang ada di desa. Kenyataan terjadi setelah Lek Man di PHK, mau tidak mau ia pun harus turut bekerja sebagai penjual wedang hingga saat ini.

"Kerinduan tanpa batas menghantui hari-hariku menembus alam dimensi pikiran ku……. Kerinduan tanpa batas membawaku jatuh ke garis titik nadir kehidupan ini….Sepatah kata rindu yang terucap dari suara hati ku terbawa oleh angin malam dalam mimpi indah mu…..Semakin berulang kali kata rindu terucap dalam benak ku, semakin aku terbangun memikirkan mu…."Lantang terdengar seiring langkah mantap seorang pemuda lusuh mendekati kursi panjang "warung" Mak Tum.

"eee alah kamu to Mas!"

"Bagaimana Mak Tum Puisi saya bagus ndak!"

" Iya bagus, bagus banget mas!, pasti perempuan yang Mas Wisnu maksud akan bahagia bila
mendengar dan membaca puisi itu"

"Lha ya jelas to Mak Tum.., memang puisi ini aku tujukan pada Wismarini, itu lho Mak..., anak pak RT kampung sebelah"

" Iya-iya percaya..., ngopi Mas!"

"Lha ya jelas to Mak!, jam segini itu enaknya ngopi sambil cari.... inspirasi untuk puisi-puisi saya..."

Wisnu seorang pemuda lontang-lantung yang mengaku "seniman" itu, selalu ngopi tiap malam menjelang, tak jarang ia lantunkan dengan keras untuk para langganan Mak Tum, tepuk tangan riuh pun membahana tiap kali selesai ia bacakan puisinya.

"Mak...! kok malam ini nggak seperti biasanya?"

"Iya Mas, aku juga nggak tahu?"

"Biasanya kan, "Bintang panggung" selalu di sini Mak, eee siapa itu Wowok, Ginuk, Pariyem dan Nyi Asih....pada kemana mereka Mak?"

"Sudah satu minggu ini mereka tidak ke sini Mas!...dengar-dengar mereka kena garuk petugas Mas!"

"Sepi lho Mak tanpa kehadiran mereka.., siapa yang akan nembang Mak!"

" Ya kamu aja to baca puisi..., ni kopinya...Mas!"

"Alah yo kesel aku Mak, makasih mak!"Tragedi penggarukan "bintang panggung" sebutan bagi perempuan-perempuan yang selalu menjadi matahari malam bagi kuli-kuli, tukang becak, sais dokar di stasiun sudah menjadi bagian dari dinamika kehidupan Mak Tum. Kejar-kejaran untuk menggaruk mereka selalu jadi pemandangan lucu dan membuat trenyuh. Tak jarang Mak Tum kadang menyembunyikan salah satu bila terpaksa ada yang nyungsep di bawah meja tempatnya menjajakan wedang.

"Na itu stasiun yang Bapak maksud...kita sudah sampai Pak!"Tiba-tiba agak mengejutkan Mak Tum.Tidak biasanya penumpang lek Man aneh, seperti Lelaki Tua ini.

Lelaki tua dengan tongkat berkepala elang terseok berusaha turun dari becak Lek Man, dengan topi bundar berwarna putih, berbaju putih stelan panjang layaknya amtenar Belanda masa lalu. Ia lepas kacamata dan membersihkannya, sesekali ia kucek-kucek matanya, seperti tidak percaya, Ia amati dari sudut barat hingga sudut timur stasiun di depannya, tanpa kata tanpa sapa ia melangkah perlahan melongok ke dalam, tertatih barangkali karena usianya.

"Siapa itu Pakne? kok tidak biasanya ada orang yang nyeleneh dan nyetil kayak Bapak ini?"

"Huss ! jangan keras-keras, nanti Bapak itu dengar...,kalau tersinggung karena kata-katamu tadi kan ciloko Makne!"

" Iya Mak.. nanti malah kamu dimarahi.., jangan ganggu..kita lihat dulu aja"timpal Mas Wisnu

Melangkah perlahan memasuki lorong stasiun dan duduk di kursi peron. Matanya terus mengamati sekeliling. Sembab terlihat jelas dimatanya. Sesekali ia seka keringat yang tiba-tiba mengucur di wajahnya. Entah apa yang diucapkan, bibir itu telihat bergerak terbata-bata dan sesekali matanya terpejam dan menunduk.

"Lho-lho Pakne kenapa itu Bapaknya?"

"Aku juga gak tahu Bu.."

"Lek Man.., dapat dari mana kamu tadi? Bapaknya kok aneh?"

"Huss kamu jangan sembarangan, barangkali dia pejabat yang mampir, ato pemborong yang akan membongkar stasiun ini"

"Halah semua pada ngawur kita tanya saja ya"

"Pak, maaf mau minum apa?" Mak Tum mencoba memecah suasana

"Eh eee Oh maaf.., aku tlah mengganggu kalian. Boleh-boleh kopinya !""Kalau boleh tahu Bapak darimana dan mau kemana?"lanjut Mak Tum

"Aku hanya sekedar singgah sudah 20 tahun yang lalu aku pernah ke stasiun ini, ternyata tidak banyak berubah hanya lusuh seperti usiaku ini"

"Oooo kami kira Bapak Pejabat yang akan memugar stasiun tua ini"

"ahhh tidak-tidak...."

"Ya udah kalau gitu aku tak cari penumpang lagi ya Makne"sergah Lek man tiba-tiba

"Iya sana"

"Monggo-monggo Lek Man, itu sudah menjadi kewajiban kamu. Sedangkan aku wajibnya ngopi di warung kamu, he he" timpal Mas wisnu

Lek man pun pergi dengan penuh kesetiaan mendorong becaknya, Mak Tum menyeduh kopi untuk tuan Bharata. Lelaki tua itu kembali melamun, seakan ada yang mau dibongkar dari otaknya di stasiun itu. Bayang perempuan tiba-tiba muncul dikelopak matanya, bergantian dan berulang-ulang wajah istri-istrinya yang telah meninggalkannya. Tiba-tiba tanpa sadar ia terisak dalam diam.

"Mak..., sini.., Bapak itu menangis Mak?"

"Ssssstt..! jangan diganggu nanti Dia Marah! dan lagi itu bukan urusan kita"

Jengkerik tetap melaksanakan tugasnya berdendang dengan derit menyayat, kelelawar mulai berkelepak bermain dengan serangga malam menyambut pekat yang kian kelam. Mak Tum tetap setia membelai gelas dan sendok, sementara mas wisnu mengotak-atik kertas dengan wajah tegang. Suasana semakin tegang kala guntur mulai menggelinding di langit, kilat menyambar pohon kelapa di depan stasiun memercikkan api yang tiba-tiba membuat terang dan menakutkan. Mak Tum terperanjat, mas wisnu hanya senyum-enyum melihat fenomena tersebut. Tuan Barata hanya menoleh sesaat kemudian tertunduk kembali.

"Lho kok pada bengong! ni lho aku bawa Nyi Asih...., "

Tiba-tiba Lek Man berteriak turun dari Becak dan mengangkat roda belang untuk memudahkan Nyi Asih turun. Perlahan dan berlenggak-lenggok menuju ke warung Mak Tum. Mas Wisnu girang karena Bintang warung malam itu hadir setelah lama menghilang. Tuan Barata terperanjat memandang Nyi Asih dengan mata yang hampir keluar. Tanpa berkedip terus pandangi wanita setengah tua yang tetap cantik itu.mulutnya berkomat-kamit akan mengucapkan sesuatu tapi tak pernah bisa keluar.

"Wah kadingaren Nyi malam ini turun gunung, ke mana saja selama ini.., kabar Nyi Asih bagaimana dan mana Limbuk, Wowok, Ginuk, Pariyem kok tidak pada ikut?”

“Kabar baik Mak.., gimana Mak Tum sendiri wah-wah makin makmur saja ya, lebih-lebih Lek
Man makin gemuk. Limbuk, Wowok, Ginuk, dengar-dengar masih di penjara karena berkali-kali kena garukkan, sementara Pariyem katanya malah dinikahi aparat yang menangkapnya. Dunia ini memang aneh kok Mak

“Itulah hidup ya Nyi. Oh ya mau minum kopi apa teh malam ini”

“Biasalah Mak Teh, tapi gulanya jangan banyak-banyak”

Nyi Asih memandang sekeliling menyapa mas Wisnu, dan duduk di bangku panjang matanya tertuju pada sosok tua yang sedari tadi memandangnya. Risih juga Nyi Asih dipandangi tapi betapa terkejutnya sosok laki-laki tua itu berdiri dan berjalan mendekatinya, sementara Nyi Asih berusaha lari meninggalkan stasiun.

“Wasni! kamu wasni kan? “

Mak Tum ndak jadi, saya pergi dulu”

“Wasni!”

Nyi Asih!”

Langkah Nyi Asih kalah sigap dari tangan laki-laki tua itu. Terengkuh sudah tangan Nyi Asih walau meronta Ia tidak mampu melepaskan cengkereman laki-laki tua itu. Mak Tum, mas Wisnu, dan Lek Man hanya terperangah memandang kejadian yang tidak pernah di sangka itu.

“Jangan tinggalkan aku lagi Wasni”

“Tidak! Akan kau siksa aku lagi ya? Belum puas kau mempermainkan aku. Akan kau kemanakan Puspa, Windi dan Sinta. Aku sudah cukup sabar menerima siksaanmu, tapi aku tak sanggup lama-lama di rumah itu, Jadi jangan pernah ajak aku kembali lagi”

“Mereka semua sudah pergi Wasni, mereka sudah meninggalkanku saat aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Maafkan aku Wasni, kembalilah kepadaku”

“Ooo begitu ya, di saat kamu jaya kamu bergelimang harta kamu seenaknya berbuat seperti itu.Kini saat kau menderita jauh-jauh kamu cari aku. Tidak ! Tuan Barata, Tidak! Jangan harap aku kembali lagi.

“Tapi wasni!”

“Tidak!”

Wasni berontak dan berlari masuk ke dalam stasiun seiring sirine kerita api meraung-raung, roda kereta menggetarkan seluruh kawasan stasiun. Jeritan menyayat terdengar mengejutkan mereka. Mas Wisnu berlari menengok ke dalam dan keluar tergopoh-gopoh”

“Nyi Asih terlanggar kereta! Nyi Asih Terlindas kareta”

Lek Man berlari disusul Mak Tum Mas Wisnu kembali menyusul untuk mencari di mana Nyi Asih. Tuan Barata masih mematung dan tergopoh-gopoh menyusul ke dalam stasiun. Tegang dan kebingungan Ia mondar-mandir tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sesaat kemudian Ia kembali ke peron stasiun dan terlihat menangis.

“Wasni…..maafkan aku.Kenapa kamu harus meninggalkan aku dengan cara seperti ini Was”

Lama Tuan Barata tertunduk suasana makin mencekam, keriuhan tukang becak, penjual asongan dan anak jalanan tiba-tiba menghilang. Senyam dan sepi bahkan suara binatang malam tak satu pun yang bersuara bahkan berbisik pun tidak. Gerimis perlahan menetes seakan berduka atas kematian Nyi Asih alias Wasni sebagai "bintang panggung" di stasiun itu. Tuan Barata merasa dunia telah merengkuhnya dalam kesepian. Orang-orang terdekat telah meninggalkannya dari istri hingga anak-anaknya, kini Wasni pun yang diharapkan menjadi orang terakhir yang akan menemaninya kini telah pergi meninggalkannya.

Tuan Barata memandang sekeliling berusaha mencari masih adakah orang disekitar stasiun ini. Masih saja Ia belum mengerti dengan keadaaan yang tiba-tiba berubah.

“Bapak mencari siapa?”

Tiba-tiba muncul laki-laki bongkok membawa lampu gantung. Sapaan lelaki itu mengagetkan Tuan Barata. Kesadarannya belum pulih benar.

“Maaf.., Bapak siapa? Kenapa malam-malam berada di stasiun ini?”

“Pak! Tolong Pak, ada orang terlanggar kereta, Istri saya pak.., istri saya terlanggar kereta”

“Maaf Pak, Bapak pasti bermimpi, stasiun ini sudah tidak aktif sejak 20 tahun yang lalu, mana mungkin ada kereta lewat”

“Tapi.., tapi tadi istri saya, trus penjual wedang, pengayuh becak. Pada kemana mereka, mereka tahu lho pak?”

“O.., saya jadi ingat, 20 tahun yang lalu, suami istri pengayuh becak dan penjual wedang terlindas kereta di penyebrangan sana. Kemudian di sudut stasiun sana ada seniman yang bunuh diri menggantung karena stress. Terus di dalam sana seorang perempuan cantik ditemukan meninggal pada malam yang sama dengan malam ini.”

“Jadi-jadi…. Semua tadi…?”

“Maaf Pak…, saya harus kembali ke rumah saya”

“Bapak mau kemana?”

“Saya harus pulang ke kuburan timur itu, mari Pak!”
Tuan Barata hanya mematung dengan wajah pucat memandang kosong ke dalam stasiun.

saduran dari naskah drama
karya Mahmud el Qodri
Januari 2009

Saat Gerimis Meruncing

Dedaun runtuh diterjang puing-puing gerimis menghantam,
satu hilang ditelan lubang luka menganga
membiru lalu membatu dan
lengking burung hantu kembali masuk tiap liang
usik senyap usik gelap dalam lelap menginggau,
suara parau secuil kata tak terabjad terucap tertekan dalam otakku
berpilin bagai labirin lalu membentuk relief relief ilusi,
rembulan membiru merindu
kau menyeringai dalam sisa waktu terasing dalam imajiku
tersulut aku tersudut pada retak malam yang berkabut kelam,
terdiam aku saksikan serpih peluh terserak angin
mendesah bersenggama dengan resah
kaku berderak terhenti pada alur yang tak lagi berlayar.

Tuesday, January 27, 2009

Lembayung Senja

Lembayung senja terhampar mewarna suram
sepanjang mata menatap duka mengembang
bersama tangis mentari tertusuk ilalang

aku masih merindukan siang, seperti halnya siang
merindukan matahari. gerimis sore ini membuyarkan
lembayung terindah yang terlukis cakrawala

aku lihat gelayut kabut mempercepat kelam
tipis menyerupa sutera menepis wajah-wajah sayu sang bayu

aku renungi lembayung yang tercecer
masih adakah secerca harap membelai senja
bersama angin pesisir

hangat uap pantai ditiup ombak
diantara runcing gerimis, nuansa irama
air, bergelora simponi jiwa menghapus lara

sajak telah rangkai hati menjadi kata
kata t'lah seret lara duka dalam asa
dan asa t'lah tenggelamkan
cinta lembayung dalam senja

Friday, January 23, 2009

Tetaplah Menjadi Bunga

Waktu telah merubah,
dirimu menjadi dirimu yang sebenarnya
masa telah mengganti,
suasana dulu tak seperti saat ini
setapak demi setapak ke depan,
tak bisa beringsut kembali kebelakang.
tapi, sejauh jarak memisah,
selama rentang waktu berlalu,
ku yakin hatimu masih tetaplah hatimu
yang selalu tersenyum
aku yakin dirimu ingin tetap menjadi bunga di taman hatiku
aku yakin dirimu tetap ingin aku menjadi penjaga
atas mekar yang telah tersemaikan
aku yakin
kau akan berusaha mewujudkan sebuah janjimu,
walau putik dan benangsari tak mesti bersatu,
jadilah bunga yang tak pernah layu
jadilah sebuah keabadian
mekar...
dan mekarlah selalu...
harumi harimu..
harumi sekelilingmu tiap waktu...

Sunday, January 18, 2009

Derita Si Kecil (Persembahan khusus buat Si kecil di Palestina)







Aku gagap harus bagaimana lagi....
mataku tak lagi bisa sembab apalagi meneteskan
sekedar air..,
Di sana air mata dan darah tlah terlalu banyak tumpah
Si kecil akhirnya kaku dan pucat
dalam senyum keikhlasan

Telingaku tak lagi sanggup dengar teriakan dan
tangisan membahana tiap waktu
Yatim dan piatulah mereka dalam sekejap
bahkan si kecil menjadi korban yang tak pernah lagi
merasakan riang masa kanak-kanak

Bagaimana mungkin tangan-tangan lemah
merangkak tertatih
melawan baja yang beterbangan
dan merayap dengan muntahan api kedzoliman

Masih sanggupkah mendengar
untuk hari-hari depan

untukmu korban palestina
18 januari 2009

Saturday, January 17, 2009

Kang Toyib dan Thole

"Kerinduan tanpa batas menghantui hari-hariku menembus alam dimensi pikiran ku……. Kerinduan tanpa batas membawaku jatuh ke garis titik nadir kehidupan ini….
Sepatah kata rindu yang terucap dari suara hati ku terbawa oleh angin malam dalam mimpi indah mu…..
Semakin berulang kali kata rindu terucap dalam benak ku, semakin aku terbangun memikirkan mu….
Rasa rindu ini berkecamuk dalam sanubari ini membuat raga ini tak berdaya melawan bayang – bayang wajah mu yang selalu mengikuti ku….
Semakin hari rasa kerinduan ini merusak sayap-sayap patahku, Semakin aku terbang jauh ke langit ketujuh lalu jatuh terhempas kehadapanmu…
Sebuah kata rindu yang tidak dapat dilukiskan oleh seribu bait-bait syair seorang pujangga tanpa nama….
sebuah kata rindu yang tidak dapat diukir oleh seribu pahatan seorang seniman tanpa nama……………
biarlah senandung kisah rindu ini menemani khayalan ku…..saat aku berbicara pada dinding – dinding kamar ……."

Cats"Puisicom"09

"Mak, ini maknanya apa Mak?"

"Apalagi si Le....., kamu dapat dari mana tulisan ini?"

"Tadi aku temukan di jalan terserak dalam buaian angin Mak"

"Sudahlah Le..., masih terlalu kecil kamu tuk tahu apa makna tulisan ini...."

"Mak..... , dulu Mak pernah bilang, kalau rindu itu kangen kan mak?"

"Iya....., memangnya kenapa?"

"Berarti yang nulis ini juga lagi kangen ya Mak!"

Kupeluk Thole dan ku pangku dingin sore itu terus mengalir seiring rinai yang sejak pagi tak surut menghempas bumi. Tak pernah kusangka Thole yang masih begitu kecil begitu cepat keingintahuan dan kepekaan terhadap sekelilingnya. aku jadi semakin takut kalau-kalau ia menanyakan kenapa Kang Toyib belum juga pulang.

"Mak...!, Mak rindu nggak sama Bapak, kok Bapak tidak pernah pulang Mak!"

Berdesir hati ini begitu mendengar kata "Bapak". Thole terus memandangiku, aku jadi gelagapan sendiri.

"Kamu makan dulu ya,... kamu kan habis pulang sekolah pasti kamu capek dan lapar, makan duu ya..."

"aku belum lapar kok Mak, Mak belum jawab pertanyaan Thole, Bapak di mana Mak?"

Aku pun tak tahu harus jawab apa, Kang Toyib pergi sejak puasa ketiga saat Thole berumur empat tahun, kini tatkala Thole sudah kelas 2 SD, lebih-lebih lebaran ketiga ini Kang Thoyib belum juga pulang.

"Mak..., Thole kangen bapak Mak!, Thole sering diejek teman-teman Thole gak punya Bapak kata mereka Mak!"

"Sabar ya Le.., bapak pasti pulang, Bapak lagi kerja Le...,"

"Tapi Mak...?"

"sudahlah...., kamu tidur sana.., ntar sore kan kamu ngaji di tempatnya H.Bokir ..., kamu harus selesaiakan Juz amma kamu ya.., sambil berdoa mudah-mudahan Bapakmu segera pulang"

"Bener ya Mak., Bapak segera pulang!"

Aku hanya mengangguk tanpa bisa kukeluarkan kata-kata, seiring thole mengucapkan doa mau tidur, sembab yang kucoba tahan pun meluber tumpah hingga menetes di daguku.

"Bismikallah humma ahya wabismika ammuuuut"

Hanya dinding kamar ini yang bisa aku tatap tanpa bisa jawab, menerawang tembus sukma,

"Dimanakah kamu Kang..., kasihan Thole selalu menanyakanmu. Thole sudah besar Kang.., Thole butuh kamu"

Sunday, January 11, 2009

"Mak..! Mengapa Mesti Ada Perang"

"Israel semakin memborbardir Gaza dengan tank-tank dan pesawat tempurnya......sementara korban anak-anak dan kaum ibu semakin berjatuhan..."Begitulah suara televisi terdengar keras di ruang tengah, kulihat Thole tidak biasanya memandang televisi dengan tenang. Suara celoteh Tom Jerry tak terdengar sore itu, tetapi suara bom dan tembakan membahana membuat aku heran.

Kuperhatikan Thole begitu khusyuk memperhatikan gambar didepannya, sesekali ia mengusap hidungnya yang memang sedang flu.Sementara di dinding cicak berebut laron yang tiba-tiba hinggap di sisi mereka. Sesekali Thole menatap cicak, kemudian beralih ke televisi begitu seterusnya berulang-ulang.

"Mak!, mengapa mesti ada perang Mak!" tiba-tiba Thole berteriak

Aku yang sedari tadi di belakangnya tak menyangka kalau Thole akan bertanya seperti itu.Dikiranya aku masih di dapur, sehingga ia berteriak lantang.

"Makanya To..., kamu jadi anak jangan suka bertengkar, kalau suka bertengkar terus berkelahi nantinya ya pasti perang Le..."

"Tu..., cicak di dinding juga berkelahi Mak!, apa nanti juga akan ada perang cicak Mak!"

Pertanyaan yang begitu polos ia lontarkan, aku pangku Thole dan kubelai rambutnya. Bocah seperti kamu belum akan mengerti bila Mak jelaskan.

"Bersyukurlah kamu Le, lahir dan hidup di Indonesia, andai kamu di Palestina sana, masihkah mungkin bisa menonton Televisi seperti sekarang ini".

Thole melirikku dan menatap wajahku yang memang berusaha menahan airmata ini untuk tetap ditempatnya. Sementara di Televisi mayat-mayat si kecil tertata rapi dengan darah segar masih menempel dibajunya.

"Emak menangis..?! mengapa Mak menangis!"

Seiring rinai yang jatuh sore ini, rinai airmata dan darah pun sedang turun bahkan membadai di Palestina sana. Semakin kupeluk erat Thole yang masih saja memandangiku heran.

"Suatu saat kamu pun akan tahu Le...."

Tuesday, January 6, 2009

4 Januari 2009 Pagi Itu Kami................










Rasa kantuk tak menghalangi semangat mereka, sesaat setelah beristirahat sekitar 2 jam. mereka pun membangunkan aku. ya kami rombongan tim PMR SMA N 1 Boja pagi itu berencana menaklukkan gunung ungaran dalam ekspedisi ketiga tahun ini.

"Kak dah jam 01.30 Wib jadi muncak tidak?"

Aku pun terbangun walau sebenarnya aku tidak terlelap betul selama 2 jam setelah breafing terakhir pukul 23.30 wib. Ya tanggal 3 Januari 2009 pukul 23.30 itulah aku masih berusaha memejamkan mata tapi rasa dingin mengalahkan kantukku hingga aku pun bersandar di tiang kayu dekat perapian hampir 1,5 jam aku berusaha, akhirnya mataku bersenggama dengan kantukku walau hanya 30 menit itu pun tak lelap karena pikiran selalu terjaga.

Tanggal 4 januari 2009 itulah tepat pukul 01.30 aku terbangun dalam kondisi lena antara sadar, kantuk dan pusing jadi satu. Tak kusangka mereka begitu bersemangat hingga mengalahkan kondisiku saat itu. 30 menit kemudian kami telah berkumpul di lapangan volly dengan selimut hawa dingin yang menusuk pori-pori menembus baju dan jaket yang kami kenakan. 31 peserta dari 42 keseluruhan yang berani dan sanggup untuk menaklukkan gunung ungaran pagi itu. setelah berdoa kami pun memulai pendakian. dua sahabatku dari Mapala Kendal serta 7 anggota PMR SMA Cepiring pun bersama kami pagi itu.

Aku pun memimpin mereka untuk menapak selangkah demi selangkah di antara bebatuan terjal setapak menyusuri lorong pepohonan teh yang mengalahkan tinggi badan kami. kami sangat bersyukur karena pagi itu cuaca cerah, sebenarnya sejak sore sebelumnya kwatir apabila cuaca tidak mendukung. Kekwatiran kami terhadap turunya hujan sirna sudah ketika magrib itu langit cerah dengan bulan sabit dan bintang menyemut di langit.

Setelah satu jam akhirnya kami sampai di gubug pertama setelah kami menembus semak-semak yang begitu rimbun, ternyata aku telah menyusuri setapak yang jarang dilalui bahkan baru saja terbuka saat tahun baru kemarin. Awalnya aku ragu karena feelingku selalu moot bahwa aku tersesat. Lega rasa hati ketika akhirnya aku bertemu dengan gubug tempat peristirahatan pertama bagi para pendaki.

Medan terjal dengan bebatuan dan pepohonan menghalangi jalan serta kemiringan yang hampir dikatakan vertikal tidak mengurangi semangat kami untuk tetap merangkak, tidak hanya kaki tangan pun kami gunakan untuk melata satu demi satu bebatuan di hadapan kami. suara napas terdengar memburu diantara mereka keluhan pun sering keluar.

"Masih jauh kah? kapan kita sampai?"

Akhirnya setengah jam berikutnya tepatnya pukul 03.30 kami sampai di batu pertama. Disinilah kami dapat memandang kebawah lampu-lampu perumahan dan kota terlihat terang seperti kumpulan kunang-kunang. Di Batu ini pula kami bertemu dengan angin yang semakin dingin, indahnya pemandangan lampu-lampu seakan menghilangkan letih kami dan tetap bersemangat untuk mencapai puncak.

Berselang tiga puluh menit kami pun mencapai batu ketiga, ketika ada kabar satu anggota tercecer di belakang, kaki kram membuat dia tertinggal. akhirnya dua temanku dari Mapala Kendal pun membantu dia. aku alihkan leader ke pelatih PMR Cepiring untuk lebih dulu mencapai puncak. Aku sekarang berposisi di tengah memantau mereka yang didepanku dan mereka yang dibelakangku.

Pukul 04.15 kami mencapai batu ketiga di mana ini merupakan bagian akhir dari batas antara lereng dan bukit terakhir yang merupakan puncak gunung ungaran. kami pun semaki bersemangat dan mereka tampak antusias seakan tidak pernah lelah. sementara sayup-sayup terdengar suara azan dari radio HP yang aku bawa.

Akhirnya tepat pukul 04.30 kami tiba di puncak setelah menaklukkan batu besar yang sangat vertikal untuk dilalui. Sebuah bangunan benteng dengan hiasan baret hijau terpampang di depan kami, sementara tiang bendera membisu dengan tali yang setia melilit sampai kapanpun juga menyaa kami. Kami hirup udara dingin bersih di puncak ungaran dengan sepuasnya. perlahan pemandangan hijau pun terhampar. Di sebelah utara kota semarang dan laut pun kami sapa, sebelah timur terlihat rawa pening, timur daya kulihat merbabu, merapi masih saja menyembulkan asap, sebelah selatan serong ke barat daya terlihat gunung kembar sindoro sumbing pun begitu ramah kami tatap. Sungguh keagungan Tuhan pagi itu kami masih diberi kesempatan melihat semuanya.

Setelah menanti selama 30 menit akhirnya kami pun melihat sesuatu yang kami tunggu-tungu, ya mata dunia mulai menyembul perlahan dengan aura merahnya, kami semua memandang ke arah timur laut di sela-sela awan sun rise begitu indah menyapa pagi itu. Kami pun berebut posisi untuk mengabadikan sebagai sebuah kenangan sekaligus perenungan. Bahwa semua adalah kuasaMu "Allahhu Akbar".

Semakin jelas dan semakin menghampar hijau dedeaunan teh, hijau dedaunan pohon-pohon, dan birunya pegunungan serta air seolah seperti kaca dari pancaran air rawa pening. Kami sangat menikmati. mereka pun sangat bahagia, lelah perjalanan seakan hilang saat itu. Hampir semuanya mengabadikan diri mereka dengan beground yang tinggal pilih. Tak ketinggalan aku pun juga jeprat-jepret untuk kenang-kenangan.

Setelah satu jam menikmati, tepat pukul 06.00 aku paksa mereka untuk turun gunung karena padatnya jadwal dan untuk menghindari jilatan matahari. Mereka pun begitu kaget ketika melihat jalan yang behitu mengerikan. Mereka tidak mengira kalau semalam jalan itulah yang mereka lalui untuk mencapai puncak ini.

Selang 1 jam 45 menit akhirnya kami sampai kembali di bascampe. Mereka pun menumpahkan kelelhan dengan merebahkan diri di balai-balai yang semalam mereka tiduri. Sangat cepat untuk menuruni gunung ini. Kami mendaki selama 2 jam 30 menit, tapi untuk menuruni kami hanya butuh waktu 1 jam 45 menit.

Alhamdulillah kami semua selamat dan masih utuh hingga kembali ke tempat pertama kami dilepas oleh Ibu kepala sekolah hari sabtu kemarin.

Monday, January 5, 2009

Pada Airmata

kau ingin rasakan keheningan ini, seperti cucuran airmata, beterjunan
kanak-kanakmu, dalam segala moyak harapan

sudah lama aku kehilangan air mata, tangisku menjadi api menyala,
jangan, jangan membuatku menangis, karena pabrik-pabrik sudah menjadi
sepi, kanak-kanak sudah demikian damai dalam lubang besar pemakaman,

kau ingin rasakan kesunyian ini, seperti cucuran airmata, beterjunan
aku, mencari cintamu

sudah lama aku kehilangan cinta, tak ada yang tersisa, mungkin pada
pecahan granat di palestina atau bau bensin yang saat ini
tiada,
tiada lagi
yang tersisa, kau lihat sepatuku, perhatikan, di ujungnya, ya merah dan putih,
darah dan sedikit cairan otak,

kau ingin rasakan keindahan ini seperti cucuran airmata, beterjunan
mereka, mencari cahaya

aku rindu cahaya, di sini, dalam hatiku...