Thursday, March 19, 2009

Organ Tunggal (Sebuah Kado yang Maradang)

Mahnun betul-betul meradang. Ia merasa sangat marah melihat pertunjukan organ tunggal yang berlangsung di halaman samping rumahnya itu. “Ini sudah keterlaluan, tidak ada toleransi untuk maksiat macam begini.”

Ia merasa tidak bisa terima pakaian penyanyi seminim itu. Tanpa risih sedikit pun ia melenggok di panggung dengan rok yang jauh di atas lutut sehingga memperlihatkan celana dalam hitam ketatnya, baju tanpa lengan yang memperlihatkan pusar dan sebagian perutnya serta membiarkan punggung bagian atasnya terbuka.

“Memang begitu tradisinya, Mas.” Mugi, adiknya menanggapi. “Namanya juga menghibur.”

“Dia menghibur dengan nyanyian atau tubuhnya? Kau mengundang organ tunggal untuk mendengar musik bukan? Bukan untuk tubuh terbuka dan goyangan demikian.” Sungutnya.

“Ya bagaimana lagi?!” Mugi menjawab setengah kesal setengah bercanda. “Sudah satu paket dari sananya.”

Mendengar itu Mahnun kian marah dan berbalik meninggalkan adiknya yang hanya bisa melongo.

Mugi menggaruk kepalanya. Ia heran dengan tingkah kakaknya. Bukankah organ tunggal memang identik dengan goyangan. Soal pakaian, itu kan hanya baju panggung. Mugilmengenal satu-dua orang penyanyi organ tunggal. Bahkan dia juga nyaris berpacaran dengan Lisya, salah satu artis organ tunggal yang agak populer dan masih sekolah. Jika itu terjadi yang menjadi pendampingnya sekarang bisa-bisa bukan Yeyen. Atau sama sekali belum menikah saat ini. Siapa tahu!

“Kalau tidak berani begitu, tak akan ada yang mau ngajak kita manggung, Mas.” Mugi ingat kata-kata Lisya dulu. “Mana ada orang mau mengundang kita yang menyanyi dengan pakaian rapi.”

Mugi paham akan hal itu. Ia biasa dengan hiburan organ tunggal dan hampir selalu mengikuti di setiap hajatan. Lisya benar, jika penyanyi tidak berpenampilan seksi mana ada yang mau menonton pertunjukan itu. Dan biasanya, sepanjang yang dibicarakan juga soal artisnya, cantik-tidak cantiknya, soal goyangnya, dan semacamnya. Tak ada pembahasan masuk ke soal suara dan teknik bernyanyi. Baginya, lagu apa pun yang dibawakan para penyanyi oke aja. Yang penting goyangnya, Mas!

***

Wiwin Kombor yang menjadi MC sekaligus yang mendapat tanggung jawab kelompok organ tunggalnya, merasa kalang kabut setelah didamprat Mahnun. Ia bingung sekaligus heran, biasanya tuan rumah yang meminta penyanyi organ yang cantik dan berpakaian yang lebih terbuka. Tetapi kali ini kok ada tuan rumah yang tersinggung karena pakaian artisnya?

“Pokoknya, kalau sampai artismu tidak berganti pakaian, acara ini akan dihentikan pada pukul dua belas pas.”

Wiwin melongo. Jika berhenti jam 12 malam, teman-teman pemuda yang setengah teler itu bisa ngamuk. Padahal di jam-jam itulah para pemuda bertingkah agresif, meminta dinyanyikan lagu dengan irama triping dan para penyanyi organ harus bergoyang lebih hot. Inilah puncak acara bagi pemuda dan pertunjukan kebolehan bagi sang artis. Pemuda terhibur, tuan rumah senang, si artis bisa terkenal!

Ia lalu mengadu pada mugi.

“Kami tidak ada masalah sebenarnya kalau acara ini diberhentikan jam 12 malam atau sekarang. Tapi kami ndak tanggung jawab kalau pemuda nanti pada ngamuk.” Cerocos Wiwin Kombor

Mugi melamun sejanak. Wah, gawat juga! Pikirnya. Ia serba tidak enak. Kakaknya ini baru beberapa hari ini di rumah. Ia sengaja pulang ke rumah untuk merayakan lebaran sekaligus ingin melihat pernikahan adnya. Ini kepulangan pertama sejak empat tahun belakangan. Semula bahkan Mugil berpikir kakaknya itu tak akan pulang menyaksikan pernikahannya ini. Di kampung ini, tidak etis seorang adik melangkahi kakaknya dengan menikah lebih dulu. Untuk membicarakan pernikahan melalui telepon pun Mugi rasa begitu sungkan dan hati-hati. Tetapi kakaknya yang kuliah di Yogyakarta itu terdengar sangat riang mendengar kabar tersebut dan berjanji akan segera pulang jika acara pernikahan itu bertepatan dengan waktu liburnya.

“Memang harus begitu,” ucap kakaknya dari seberang. “Jika merasa sudah mampu harus segera menikah. Agama menganjurkan berbuat demikian, agar tercipta keluarga yang mawaddah warahmah…”

Kakaknya tidak bertanya lebih jauh lagi soal siapa calon istrinya atau tempat tinggal dan semacamnya. Ia lebih banyak memberi nasehat dan dukungan. Mugi tentu sangat senang mendengar reaksi kakaknya itu.

Setelah melakukan rapat dengan keluarga besar, akhirnya pernikahan itu disepakati akan diadakan selepas lebaran, agar kuliah Mahnun tidak terganggu lantaran kepulangannya tersebut. Dan kini, kakaknya ngamuk, itu membuat Mugi tak enak hati. Ia tak ingin kakaknya kecewa, tetapi ia juga tak ingin mengusik ketenangan orang-orang dan kawan-kawannya yang menonton.

Mugi tahu, kalau kakaknya tidak senang dengan sikap kawan-kawannya tersebut. Mereka meminta minuman dan rokok pada tuan rumah. Tetapi hal itu bukan pula rahasia. Siapa pun yang bikin hajat untuk acara apa pun, sudah menyiapkankan hal tersebut. Itu menjadi tradisi bagi anak muda dan pemilik hajatan. Mereka sudah menyiapkan berbotol-botol minuman, berslop-slop rokok untuk para pemuda setempat untuk keberlangsungan acara.

. “Tidak ada uang untuk membeli minuman haram, tidak ada uang untuk rokok dan keamanan segala. Kalau mereka mabuk dan terus merokok, bukannya keamanan yang tercipta…” Kata Mahnun menentang

Mugi mengiyakan keinginan kakaknya tersebut, tetapi diam-diam tetap memberi lembaran uang pada teman-temannya untuk membeli minuman dan rokok.

Mugi tak tak ingin bertengkar soal tradisi anak muda dengan kakaknya itu. Sudah pasti akan sangat bertentangan. Dulu, pernah terjadi pertengkaran hebat antara kakaknya dengan sahabat ayahnya gara-gara omong-omong soal partai. Teman sang ayah ngambeg. Mahen dibujuk-bujuk untuk meminta maaf. “Meminta maaf apa? Bukankah dalam sebuah debat ada ide yang paling unggul? Dia saja yang tidak bisa menalar logikaku.”

Pada akhirnya, sang bapaklah yang mengalah dan kembali berkunjung. Untunglah tak terjadi pertengkaran lagi. Selama kunjungan itu tak satu pun yang mengungkit sesuatu yang sifatnya ideologis.

“Bagaimana kalau kau turuti saja keinginan dia, Jang?” Ucap Mugil putus asa.

“Menuruti bagaimana?” Tanya Wiwin Kombor bingung.

“Ya, suruh semua artismu ganti baju. Yang lebih sopan saja…”

“Lho bukankah biasanya juga begitu? Yang diprotes cuma Sheila. Dian Arista dan Yayuk Pratiwi ndak masalah. Sheila Pustipa kan bintang organ kami. Kalau dia pakai baju tertutup wah bisa ngamuk Bos Tasman. Bakalan gak laku organ ini.”

Mugi mengangguk bingung.

“Kamu tahu kan, Sheila itu sedang naik daun? Tak gampang mengajak dia untuk main di acara kita. Ini karena aku yang ngajak. Dan aku mengajaknya juga karena kamu kawanku, lo..”

“Iya, aku paham. Tapi bagaimana usulku tadi?” Mugi kembali menawar.

“Bukan kami menolak. Mereka bawa kostum panggung kan cuma satu. Nyari di mana sekarang? Nah, kalau diberitahu sama Sheila, kemungkinan dia bisa tersinggung. Apa yang mereka pakai kan sudah standar pentas?”

***

“Ndak bisa lagi, Bang. Kalau dari awal dibilangin tentu akan lain masalahnya. Kita juga ndak bisa menghentikan acara ini begitu saja.” Kata Mugi pada kakaknya yang sedang marah itu.

“Ndak bisa bagaimana? Orang yang mengundang mereka itu kita. Mereka kan kita bayar untuk mengikuti permintaan kita. Kalau kita bilang berhenti sekarang mereka juga harus berhenti.”

“Bukan itu perkaranya. Anak-anak muda bisa ngamuk kalau sampai acara dihentikan.”

“Kalau begitu, mereka, para artis itu harus berganti pakaian yang sopan. Apa kau tak malu, melihat penyanyi setengah telanjang itu. Hei, keluarga besar kita sedang berkumpul lho. Kau tak malu pada Meksi adikmu. Apa kau senang melihat Nanda, dan ponakan-ponakanmu yang lain melihat goyangan porno tersebut?”

“I-iya..!! Tapi…”

***

Rapat keluarga kemudian digelar. Mahnun memaparkan lagi hal-hal yang dia tidak senangi dari pertunjukan itu.

“… Ini menunjukan kelemahan iman kita.” Kata Mahnun setengah emosi mengakhiri kalimatnya. Mugi dan ibunya saling pandang. Bapaknya tampak bergetar menahan diri. Hampir dalam banyak hal Mahnun selalu bertentangan dengan bapaknya. Laki-laki di atas limah puluhan itu biasa dipanggil Dukun oleh orang-orang. Mahnun yang paling tak suka dengan panggilan itu.

“Sudahlah, kita ikuti saja kata kakakmu itu, Gi.” Ibunya kemudian bersuara.

Tapi bapaknya tidak setuju. “Kenapa harus meributkan soal iman. Inikan hanya hiburan. Biarkan sajalah…”

“Ini mengundang dosa ke rumah sendiri…” Mahnun segera memotong.

“Kalau dia beriman tak akan dia terpengaruh melihat itu. Selama ini tak ada yang merasa kalau itu mengumbar birahi. Mereka tahu itu bagian dari pertunjukan dan bukan porno. Kamu tahu apa soal itu...”

“Bukan porno bagaimana. Orang jelas-jelas dia telanjang di depan umum.”

“Menurutmu, dia harus pakai jilbab? Kalau dia berceramah tempatnya kan di masjid.”

Mahnun ingin bicara, tapi cepat-cepat dilerai ibunya. Perempuan itu kemudian menggiring suaminya menjauh. “Ndak elok bertengkar di hari baik ini.”

“Anakmu itu sudah disekolahkan jauh-jauh kok malah makin bodoh saja. Sudah besar di kota masih saja pikirannya seperti itu. Ini salah, itu salah, apa-apa salah.” Maki si Bapak.

Sementara, Mugi juga berusaha membujuk kakaknya yang tampak emosi itu.

Setengah berbisik, setengah memohon Mugi berkata, “Saya tahu pemikiran Abang akan bertentangan dengan keinginan Ayah dan yang lainnya. Tapi, ini kan hari istimewa saya. Abang tak ingin membahagiakan saya di hari istimewa ini?”

“Sekarang, terserah Mas saja bagaimana baiknya. Di sini yang paling tua kan Mas.” Mugi melanjutkan.

“Kalau memang acaranya dihentikan sekarang, ya kita hentikan saja. Ndak apa-apa. …”

Mendadak ruangan itu menjadi lengang. Di luar terdengar suara genit berteriak pada penonton, “Masih mau digoyang sayang? Tapi goyangnya bareng-bareng ya, biar enak..tarik maasssss......”

Yogyakarta, 2009

Digubah seperlunya berdasar cerita nyata

Dari Kado Pernikahan sahabatku di Yogjakarta


1 comment:

Penny said...

iya.. di kota tempat tinggalku sekarang, organ tunggal (di tempatku namanya Electone) penyanyinya jg berdandan menor dan berpakaian seksi abis..
malah di bugis/makasar ada cadoleng-cadoleng klo ngga salah.. lebih porno lagi tuh...